#

Sabtu, 06 Februari 2010

PAHALA YANG TERUS MENGALIR



Oleh: Fahri Hidayat

Dalam sebuah hadits sohih yang di riwayatkan oleh Imam muslim, Nabi bersabda: “apabila seorang insan meninggal maka terputuslah amalannya kecuali 3 perkara: sodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak solih yang selalu mendoakannya”. Hadits ini mengisyaratkan kepada kita bahwa dalam drama kehidupan yang fana dan hanya sesaat ini ada amalan-amalan tertentu yang akan tetap abadi dan senantiasa mengalir pahalanya walaupun kita telah meninggal dunia. Pahala yang terus mengalir tersebut akan menambah berat timbangan kebaikan kita di akherat nanti.

Yang pertama adalah sodaqoh jariyah. Jariyah, jika diartikan secara bahasa berarti “mengalir”. Bentuk-bentuk sodaqoh jariyah ini, sebagaimana di sebutkan dalam beberapa riwayat diantaranya adalah memberi makan, membuat sumber air, menggali sumur, membangun masjid, dan lain sebagainya.

Yang kedua adalah ilmu yang bermanfaat. Adapun yang di maksud dengan ilmu yang bermanfaat disini adalah semua ilmu yang apabila di pelajari akan menambah iman kita kepada Alloh. Ilmu yang bermanfaat bukan hanya terbatas pada ilmu-ilmu agama saja, namun juga mencangkup ilmu alam, ilmu pasti, ilmu sosial, dan disiplin ilmu lain yang bermanfaat bagi umat Islam di dunia.

Dalam surat Fathir ayat 27 ketika Alloh berfirman: “…sesungguhnya diantara hamba-hamba Alloh yang takut kepada-Nya hanyalah para ulama”, apabila kita perhatikan, konteks ayat sebelumnya justru tidak berbicara tentang masalah syari`at / hukum, melainkan berbicara tentang langit, air, buah-buahan, dan gunung-gunung


. Perhatikan firman Alloh berikut ini:

“Tidakkah engkau melihat bahwa Alloh menurunkan air dari langit lalu dengan air itu kami hasilkan buah-buahan yang beraneka ragam jenisnya. Dan diantara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada pula yang hitam pekat” (QS.Fathir:26)

“ Dan demikian (pula) diantara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa, dan hewan-hewan ternak yang bermacam-macam warnanya. Sesungguhnya diantara hamba-hamba Alloh yang takut kepada-Nya adalah para ulama” (QS.Fathir:27)

Ayat tersebut di awali dengan firman Alloh “tidakkah engkau melihat…” yang secara tersirat menuntun kita untuk mempelajari tentang air yang turun dari langit, buah-buahan yang tumbuh setelah disiram dengan air, dan gunung-gunung yang warnanya beragam. Kita di tuntun untuk mempelajari itu semua supaya lebih menambah iman kita dan menambah rasa takut kita kepada Alloh. Kata “al-`ulama” pada ayat tersebut berarti “orang-orang berilmu”. Adapun secara struktur bahasa, kata “al-`ulama” ini merupakan bentuk plural (jamak) dari kata “al-`alim” yang merupakan bentukan dari kata “al-`ilmu”. Artinya, yang di maksud dengan ilmu bermanfaat dalam hadist Nabi diatas adalah semua disiplin ilmu yang menambah iman dan ketakutan kita kepada Alloh, baik berupa ilmu syar`i seperti aqidah, fiqh, dan hadist, maupun ilmu alam seperti fisika, kimia dan dan lain sebagainya.

Ibnu Kholdun, seorang sejarawan muslim abad pertengahan membagi ilmu menjadi dua, yaitu ilmu syar`i dan ilmu non-syar`i. dalam bahasa kita berarti ilmu agama dan ilmu umum. Pembagian ini bukan bermaksud untuk mendikotomi ilmu agama dan ilmu umum, namun hanya untuk memudahkan dalam menjelaskan status hukum mempelajarinya. Selanjutnya, Ibnu Kholdun berpendapat bahwa hukum mempelajari ilmu agama adalah fardu `ain, wajib bagi setiap individu muslim. Sedangkan hukum mempelajari ilmu umum adalah fardu kifayah, wajib bagi sebagian kaum muslimin. Jika sudah ada sebagian dari kaum muslimin yang mempelajarinya, waka gugurlah kewajiban bagi sebagian yang lain.

Amalan ketiga yang pahala darinya akan terus mengalir adalah doa anak solih kepada orang tuanya. Hal ini tentu bukan perkara sederhana. Bahkan mungkin terberat diantara dua amalan yang lain. Karena untuk menjadikan anak-anak kita untuk mendoakan kita ketika kita sudah meninggal nanti mensyaratkan adanya pendidikan yang sistematis dan berkelanjutan. Sebagai orang tua, kita harus menanamkan aqidah, mengajarkan halal dan haram, mencontohkan budi pekerti yang baik kepada anak-anak kita dalam sebuah proses pendidikan sedini mungkin. Dan ini membutuhkan waktu khusus, bukan waktu sisa. Proses pendidikan ini tentu akan memakan waktu yang sangat panjang dan biaya pendidikan yang besar hingga sang anak benar-benar berkepribadian muslim yang kafah dan mampu mengurus dirinya sendiri. Maka dari itu, memberikan pendidikan yang layak kepada anak-anak merupakan kewajiban orang tua.

Banyak kita saksikan di sekeliling kita seorang bapak yang karena kesibukan pekerjaannya sampai kurang meluangkan waktu untuk anak-anaknya. Hal ini tentu akan berdampak negatif dalam jangka menengah dan jangka panjang apabila terus di pertahankan. Waktu untuk anak-anak harus cukup dalam artian memadai. Tidak harus berlebih-lebihan. Bayangkan seandainya Alloh menganugerahkan kepada anda umur yang panjang, misalnya sampai 75 tahun. Bayangkan apa yang anda rasakan ketika anda berada pada usia itu. Anda sudah lemah dan tak berdaya. Anda tentu membutuhkan orang lain untuk membantu anda melakukan pekerjaan anda. Dan orang lain itu, tentu anak-anak anda jika istri anda telah tiada. Namun saat itu anak-anak anda juga sudah menjadi seorang ayah bagi anak-anaknya dan memiliki beban hidup sendiri. Pada saat seperti itu, anda tidak akan lagi membutuhkan harta dan benda, dalam usia senja itu yang anda butuhkan hanyalah sebuah penghargaan. Penghargaan dari anak-anak anda untuk senantiasa menyantuni anda yang sudah lemah tak berdaya itu. Mungkinkah penghargaan itu akan anda dapatkan dari anak-anak anda? Jawaban dari pertanyaan ini tentu sangat tergantung pada seberapa besar ikatan psikologis antara anda dengan anak anda, dan seberapa besar pendidikan yang anda tanamkan kepada anak anda di masa lalu. Pertanyaan ini harus menjadi instrospeksi dan bahan renungan kita setiap saat.

Untuk itu, mulai dari detik ini, marilah kita merencanakan pendidikan yang layak untuk anak-anak kita. Supaya kelak menjadi amal jariyah kita yang selalu menyinari hari akherat kita dengan pahala dan kebaikan. Bagi pembaca yang belum menikah dan belum memiliki anak, hendaknya senantiasa membekali diri dengan ilmu-ilmu pendidikan dan parenting supaya kelak bisa menjadi orang tua yang baik. Semua usaha dan pengorbanan dalam jalan ini, insya Alloh akan bernilai pahala. Wallohu A`lamu bis shawab.
(sumber: http://fahrihidayat.blogspot.com)