#

Selasa, 15 Maret 2011

IQ, EQ, dan SQ


Pada tahun 1905 Binet menemukan sebuah fungsi dalam otak manusia yang kemudian disebutnya sebagai kecerdasan intelektual (IQ). Sejak saat itu berkembanglah dengan pesat cara-cara mengukur kecerdasan manusia dengan menggunakan paramater IQ. Sehingga orang yang cerdas menurut pandangan pada saat itu adalah orang yang memiliki IQ diatas 100. Orang yang memiliki IQ tinggi dianggap sebagai manusia yang paling banyak meraih kesuksesan.

Pertanyaannya sekarang adalah apakah IQ saja cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam hidup ini? Di sekitar kita ada banyak sarjana hukum yang pakar dalam masalah-masalah hukum. Mereka tentu cerdas secara IQ. Namun berapa banyak para pakar hukum itu yang justru melakukan tindakan melanggar hukum sehingga mereka mengakhiri hidupnya di dalam penjara? Di dalam dunia pendidikan, barangkali ada banyak siswa yang mendapat nilai bagus dalam pelajaran pendidikan Agama Islam. Secara intelektual para siswa tersebut tentu cerdas, terbukti dengan nilai mereka yang bagus. Namun berapa banyak dari mereka yang mendapat nilai PAI bagus itu, justru melakukan perbuatan yang melanggar agama? Artinya kecerdasan intelektual saja belum cukup. Karena kita memang tidak cukup hanya dengan mengetahui sesuatu. Tidak cukup hanya dengan bisa berteori tentang agama, atau berteori tentang tata negara dan lain sebagainya. Maka di perlukan kecerdasan lain yang lebih bisa menjawab esensi hidup ini.

Pada tahun 1995, konsep akhlak mulai di kembangkan di dunia pendidikan. Pada tahun tersebut Daniel Goleman menemukan apa yang ia sebut sebagai kecerdasan emosional (EQ). Ia menuangkan gagasannya tersebut dalam sebuah buku yang berjudul working with emotional intelligence. Dalam bukunya ia mengemukakan sebuah fakta bahwa ternyata faktor yang mempengaruhi kesuksesan seseorang itu lebih dominan di pengaruhi oleh EQ, bukan IQ. Ilustrasi sederhananya adalah dalam pemainan sepak bola. Keahlian kita dalam memainkan seni dan ketrampilan menggiring bola adalah IQ, sedangkan kemampuan kita untuk bekerjasama dengan tim, bahu-membahu, soliditas, empati, serta kemampuan untuk saling percaya sesama anggota tim adalah EQ. Jadi, EQ mutlak di perlukan dalam setiap aktifitas.

Di dalam dunia pendidikan, kemampuan siswa mengetahui nilai-nilai luhur dalam pelajaran pendidikan kewarganegaraan (PKN) adalah contoh kecerdasan intelektual atau IQ. Sedangkan kemampuan untuk merasakan keluhuran nilai-nilai tersebut sehingga meresap di dalam hatinya dan kemudian di tuangkan dalam perilaku sehari-hari, adalah EQ. Kecerdasan intelektual hanya menjawab pertanyaan “apa yang aku fikirkan?”, sedangkan kecerdasan emosional menjawab pertanyaan yang lebih dalam lagi, yaitu “apa yang aku rasakan?

Namun ternyata IQ dan EQ saja masih belum cukup untuk menjawab esensi hidup. Jika kita mengetahui tentang sesuatu, dan dapat melaksanakan sesuatu itu dengan penuh tanggungjawab, lalu untuk apa? Pertanyaan “untuk apa?” inilah sebenarnya esensi tertinggi dalam hidup. Jika kita belajar kimia, sehingga kita banyak tau tentang ilmu kimia dan dengan pengetahuan itu kita bisa membuat ramuan-ramuan yang barangkali bermanfaat untuk orang banyak, lalu untuk apa? Untuk apa kita melakukan kebaikan kepada orang lain? untuk apa kita menghabiskan waktu bertahun tahun untuk belajar dan bekerja? Jika sudah bekerja dan kaya raya, lalu untuk apa kekayaan itu? jika jawabanya adalah untuk berfoya-foya, lalu setelah itu untuk apa? Jika mungkin jawabannya adalah untuk di infaq kan kepada orang lain, lalu untuk apa? Di sadari atau tidak, semua hati manusia akan selalu bertanya “untuk apa kita hidup di dunia ini? Apa sebenarnya tujuan hidup ini?

Lalu pada tahun 2000 VS Ramachandran dari California University menemukan pada otak manusia sebuah syaraf yang berfungsi untuk mencari makna dalam hidup. Sehingga dari sinilah muncul kecerdasan baru yang kemudian di kenal dengan kecerdasan spiritual (SQ). Inti dari kecerdasan spiritual adalah sebuah keyakinan bahwa hidup ini ada tujuannya. Dan tujuan itu adalah beribadah kepada Alloh.

Contoh sederhana tentang IQ, EQ, dan SQ adalah sebagai berikut: seorang siswa yang belajar dengan niat supaya menjadi pintar, adalah motifasi intelektual yang bersumber dari IQ. Namun jika siswa itu kemudian melanjutkan: setelah menjadi pintar, ia akan menggunakan kepintarannya untuk menolong sesama manusia, ini adalah motifasi emosional yang bersumber dari EQ. Sedangkan jika masih melanjutkan: karena belajar dan bermanfaat bagi manusia adalah wujud pengabdiannya kepada Alloh, maka inilah motifasi spiritual yang bersumber dari SQ. Inilah esensi tertinggi dalam hidup. Bahwa semua kebaikan yang kita lakukan harus di niatkan hanya untuk mencari ridho Alloh, supaya amalan-amalan itu tidak hanya bermanfaat di dunia kita namun juga di akhirat kita. jika IQ dan EQ hanya menjawab pertanyaan tentang apa yang di fikirkan dan apa yang dirasakan, maka SQ ini menjawab pertanyaan yang jauh lebih dalam lagi, yaitu “siapakah aku? Apa tujuan hidupku?” (sumber: http://fahrihidayat.blogspot.com)