Ada seorang lelaki tua yang hidup di sebuah desa yang sangat terpencil. Lelaki itu tinggal bersama keluarganya di sebuah rumah tua yang mungkin lebih layak disebut sebagai gubuk. Rumah tempat tinggalnya jauh dari layak. Lelaki itu bekerja sebagai buruh tani untuk menghidupi anak-anaknya. Bertahun-tahun lamanya ia menjalani hidup seperti itu. Kini usianya sudah semakin senja, tubuhnya sudah rapuh, pandangannya mulai kabur, dan raut mukanya sudah banyak lipatan-lipatan.
Di usianya yang senja itu, istrinya meninggal dunia. Anak-anaknyapun kini sudah terpencar meninggalkan desa untuk mencari kehidupannya sendiri-sendiri. Kini ia tinggal sebatang kara, sendirian dalam kesepian. Hari-hari yang dahulu ia jalani dengan penuh kehangatan bersama keluarganya kini hanya tinggal kenangan. Masih sangat hangat dalam ingatannya saat-saat dimana istrinya melahirkan anak pertamanya dahulu. Saat ia menimang-nimang cahaya matanya itu. Saat ia mengajarinya berjalan dan berkata-kata. Saat ia bekerja keras membanting tulang demi menyekolahkannya. Dan hari ini, anak-anaknya sudah tumbuh dewasa. Mereka sudah pergi meninggalkan rumah yang reot itu untuk mencari sebuah keberuntungan di luar sana.
Tetangga dekat lelaki itu adalah seorang saudagar yang kaya raya. Ia merasa iba melihat lelaki tua itu hidup dalam kesendirian. Maka saudagar itu mengajak lelaki itu untuk tinggal bersamanya di rumahnya yang sangat mewah. lelaki tua itupun bersedia dan menerima tawarannya. Ia sangat berterimakasih. Lalu iapun segera bergegas untuk mengemas barang-barangnya dan pindah ke rumah saudagar tetangganya itu.
Kehidupan lelaki tua itu kini berubah. Ia sekarang tinggal di sebuah rumah yang sangat mewah. Ia tak perlu bekerja lagi di sawah, karena keluarga saudagar itu selalu menyediakan keperluannya. Bahkan ia tak perlu mencuci pakaiannya sendiri, karena ada pembantu yang selalu mencucikan pakaiannya. Jika waktu makan tiba, ia tak perlu mengambil sendiri, karena pembatu rumah sudah menyiapkannya di meja makan. Ia kini tinggal bersama keluarga saudagar kaya raya itu. ia di beri fasilitas kamar pribadi yang luas dan indah. Kehidupannya kini berubah sama sekali.
Namun, setelah beberapa minggu ia menjalani hidupnya di rumah itu, ia merasa tidak nyaman lagi. Entah karena apa, yang pasti batinnya sudah tidak tenang tinggal di tengah kemegahan itu. bukan karena perlakuan keluarga saudagar itu yang tidak baik, bukan itu alasannya! Ada semacam perasaan tidak tenang dan gelisah yang luar biasa dalam perasaannya. Di tengah kemewahan itu ia justru merindukan rumah gubuknya yang reot. Ia ingat kembali kenangan-kenangan yang pernah ia bina bersama keluarganya disana. Batinnya kini benar-benar tersiksa. Ia ingin kembali kepada kehidupannya yang dulu. Ia tak bisa merasakan ketenangan tinggal di rumah mewah itu. iapun meminta izin kepada teman saudagarnya itu untuk kembali ke rumahnya yang dulu. Menjalani kehidupan yang sederhana sebagai buruh tani lagi seperti sedia kala.
Kisah diatas adalah sebuah ilustrasi supaya kita dapat lebih memahami makna kehidupan. Walaupun secara fisik lelaki tua tadi berada di dalam kemewahan dan kemegahan hidup, namun ternyata batinnya tidak tenang dengan semua itu. ia justru tersiksa dengan semua kemegahan itu, karena lelaki tua itu melihat dengan dimensi emosi atau perasaan, bukan dengan dimensi fisik.
Setidaknya ada tiga motifasi dalam hidup ini, yaitu motifasi fisik, motifasi emosi, dan motifasi spiritual. Motifasi fisik adalah sebuah dorongan untuk memiliki harta dan kemegahan. Sedangkan motifasi emosi bukan hanya sekedar dorongan untuk memiliki harta dan kemegahan. Namun bagaimana supaya harta dan kemegahan itu bisa menaikkan reputasi diri di tengah masyarakat. Supaya lebih di kenal dan di kenang oleh masyarakat.
Kasus pada kisah diatas adalah sebuah contoh, bahwa kepuasan itu ternyata relatif. Saudagar kaya pada kisah diatas melihat kepuasan lelaki tua tersebut barangkali ada pada faktor-faktor fisik. Oleh karenanya ia menyediakan untuknya fasilitas yang mewah di rumahnya. Namun ternyata lelaki tua itu melihat kepuasan dari kacamata emosi. Sehingga kemegahan dan kemewahan itu seakan menjadi tak tampak. Maka pada hakekatnya dua orang ini melihat kepuasan dari dua dimensi yang berbeda.
Maka dari itu, selain faktor fisik kita juga harus memperhatikan faktor emosi. Seorang karyawan di sebuah perusahaan tentu akan menikmati fasilitas-fasilitas yang ada pada perusahaan tersebut. Namun, jika Bos yang memimpin perusahaan tersebut ternyata memiliki karakter yang sewenang-wenang, suka memarahi tanpa alasan, atau mungkin sering mengancam dan lain sebagainya, maka fasilitas-fasilitas mewah yang ada di perusahaan itu tak lagi menjadi sebuah keindahan. Karena karyawan itu akan selalu merasa tertekan setiap hari. Fasilitas-fasilitas perusahaan itu adalah faktor fisik. Sedangkan apa yang kita rasakan terhadap semua fasilitas mewah itu adalah faktor emosional. Faktor fisik ini bersumber dari kecerdasan intelektual (IQ) sedangkan faktor emosi bermuara pada kecerdasan emosional (EQ).
Maka tidak cukup kita hanya mengembangkan kecerdasan intelektual kita, seperti membangun bangunan megah, pandai berdebat dan beragumentasi, pandai berolahraga dan lain sebagainya. Namun kita juga harus mengembangkan kecerdasan emosional kita, yaitu kemampuan untuk berempati. Dan yang terpenting adalah, semua itu harus berada di dalam bingkai kecerdasan spiritual (SQ) yaitu memberi makna ibadah kepada Alloh terhadap semua yang kita lakukan. (sumber: http://fahrihidayat.blogspot.com)
Senin, 14 Maret 2011
Dimensi Kehidupan
20.53.00
Fahri Hidayat