Seperti
sebuah perjalanan, hidup ini juga memiliki tujuan akhir. Banyak di antara kita
yang belum memiliki –atau setidaknya belum memperjelas- tujuan hidupnya.
Sebagai contoh, ketika ditanya tentang apa yang harus kita raih 10 tahun ke
depan, 20 tahun ke depan, atau 30 tahun ke depan, banyak di antara kita yang
masih bingung lantaran memang belum “sempat” memikirkan pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Jika
kita belum merumuskan “apa yang harus kita raih”, maka kita akan kesulitan
untuk memutuskan “apa yang harus kita lakukan”. Untuk itu, luangkanlah waktu
sejenak untuk menyendiri dan merenungkan tentang tujuan hidup ini. Memang, di
dalam kitab suci Al Quran telah diwahyukan bahwa tujuan diciptakannya jin dan
manusia hanyalah untuk mengabdi (baca: ibadah) kepada Tuhan. Akan tetapi,
bentuk-bentuk ibadah di sini harus dijabarkan lagi supaya lebih terperinci. Ibadah
bukan hanya sekadar yang bersifat mahdhah seperti shalat, puasa, zakat,
dan haji saja. Akan tetapi, semua aktivitas hidup kita juga harus bernilai
ibadah.
Howard
Gadner, seorang pakar pendidikan Barat, memperkenalkan jenis kecerdasan yang Ia
sebut dengan ‘kecerdasan eksistensialisme’, yaitu kecerdasan dalam menyiapkan
kehidupan setelah kematian. Meskipun Gadner bukan seorang Muslim, akan tetapi
gagasannya tersebut pararel dengan konsep “kecerdasan ukhrawi” dalam literatur
Islam. Sebagai seorang yang beriman, alangkah meruginya jika orientasi hidup
kita hanya bersifat duniawi. Tujuan hidup harus benar-benar bersifat ukhrawi
dalam artian memiliki nilai timbangan atau pahala di hari akhir nanti, yang
karenanya, menjadikan kita memiliki kedudukan tinggi di sisi-Nya.
Yang
membedakan sesuatu bernilai duniawi atau ukhrawi adalah niatnya. Sebagai
contoh, sah-sah saja jika kita ingin menjadi seorang pengusaha kaya raya. Akan
tetapi, jika niat kita hanya sekadar untuk menikmati hidup mewah, dan hanya
itu, maka semua usaha kita hanya bernilai duniawi. Namun, jika niat kita adalah
untuk beribadah kepada Tuhan dengan menjadi manusia yang bisa menebar manfaat
sebesar-besarnya melalui perantara harta yang kita miliki, maka semua jerih
payah kita, suka duka kita, dan jatuh bangun kita dalam upaya meraihnya –insya Allah-
bernilai fi sabilillah. Untuk itu, tujuan hidup kita harus kembali
diluruskan agar benar-benar berada di atas rel yang akan mengantarkan kita ke surga-Nya.
Semua aktivitas kita hari ini seperti kuliah, bekerja, melakukan kegiatan
sosial, dan lain-lain, harus benar-benar kita niatkan untuk ibadah supaya bukan
hanya bernilai duniawi saja, namun juga memiliki timbangan di akhirat nanti.
***