#

Senin, 07 Maret 2016

Etika Islami di Media Sosial

Blusukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Suku Anak Dalam di Provinsi Jambi beberapa waktu lalu mendapat perhatian dan apresiasi positif dari rakyat Indonesia. Pasalnya, selain merupakan bentuk perhatian dari seorang kepala Negara, Jokowi juga tercatat sebagai presiden Republik Indonesia pertama dalam sejarah yang melakukan kunjungan resmi ke suku tersebut. Akan tetapi, di tengah mengalirnya arus simpati dari publik, tiba-tiba berhembus kabar tidak mengenakkan yang beredar secara luas di media sosial (medsos). Di berbagai medsos, seperti facebook, beredar foto-foto hoax yang merekayasa seolah-olah kunjungan Jokowi ke pedalaman Jambi tersebut hanya sekadar settingan dan pencitraan belaka. Foto-foto hoax yang tidak bertanggungjawab itu pun dengan cepat tersebar dan menjadi buah bibir khalayak ramai.
Sebagai respons terhadap hal tersebut, pihak aparat melakukan aksi cepat. Kapolri Badrodin Haiti yang pada tanggal 8 oktober silam telah menerbitkan surat edaran Nomor SE/ 06/X/-2015 tentang penanganan ujaran kebencian (Kedaulatan Rakyat, 2 Nov 2015, hlm.1),  menyatakan pihaknya akan melakukan investigasi serius untuk melacak akun yang menyebarkan berita tersebut. Langkah Kapolri ini perlu didukung dan diapresiasi, sebab bagaimanapun juga Presiden adalah simbol Negara yang harus dijaga kewibawaannya. Kebebasan berekspresi memang dijamin oleh Undang-undang. Akan tetapi kebebasan tersebut harus tetap dalam koridor etika dan tidak menyebabkan adanya pihak-pihak yang dirugikan.

Etika Islami
            Sebagai Negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, seharusnya masyarakat Indonesia, khususnya yang Muslim, berpegang kepada nilai-nilai etika Islam sebagai pedoman berperilaku. Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad lima belas abad silam menjadikan revolusi moral sebagai misi utamanya. Hal ini sebagaimana dinyatakan secara eksplisit dalam sebuah hadist “sesungguhnya saya (nabi) diutus untuk menyempurnakan akhlak”.
Masyarakat Arab pra-Islam dikenal dengan sebutan jahiliyah yang secara harfiah bermakna “kebodohan”. Kata jahiliyah di sini, menurut Muhammad Quthb, tidak merujuk kepada kebodohan secara intelektual, melainkan lebih kepada kebodohan moral seperti budaya saling mencaci-maki antar suku Arab yang seringkali berujung perang dan pertumpahan darah. Islam datang dengan menghadirkan konsep baru tentang ajaran moral yang dijiwai oleh semangat beribadah kepada Tuhan.
                        Medsos memang merupakan fenomena baru yang tidak ada di zaman Nabi. Akan tetapi, prinsip-prinsip umum tentang pedoman berperilaku yang telah diatur oleh Islam dapat diaplikasikan juga dalam “perilaku” di dunia maya. Seperti, di antaranya, larangan ghibah dan menyebarkan berita dusta. Selain itu, terdapat juga perintah di dalam Islam untuk melakukan tabayyun (klarifikasi) terhadap sebuah berita sebelum memutuskan untuk mempercayainya. Menurut penulis, norma-norma etika islami seperti itu tidak hanya berlaku dalam hubungan sosial di dunia nyata saja, namun juga berlaku di dunia maya seperti medsos.

Medsos yang Positif
            Perkembangan internet dan teknologi komunikasi telah melahirkan budaya baru yang belum ada sebelumnya, salah satunya adalah budaya bersosialisasi melalui medsos. Saat ini, hampir setiap orang, khususnya kawula muda, terkoneksi dalam sebuah jaringan masyarakat dunia maya. Hal ini mungkin memang positif di satu sisi, namun juga menyisakan dampak-dampak negatif yang harus diantisipasi.
Salah satu dampak positif dari perkembangan medsos adalah semakin mudahnya masyarakat mengakses informasi. Namun hal ini juga memiliki potensi negatif ketika informasi tersebut tidak bertanggungjawab. Oleh karena itu, langkah antisipasi dari masyarakat di era medsos ini salah satunya bisa diwujudkan dengan tidak mudah share atau membagikan sebuah informasi yang belum jelas kebenarannya. Apalagi jika informasi tersebut berpotensi merugikan pihak-pihak tertentu. Prinsip tabayun dalam menerima informasi dapat diterapkan di sini.
Prinsip-prinsip etika islami seperti menghindari ghibah dan memfitnah orang lain harus bisa diaplikasikan di dalam interaksi di dunia maya. Supaya kultur yang terbangun di medsos kita adalah kultur positif. Alangkah indahnya jika medsos kita dipenuhi ungkapan-ungkapan positif dan tidak berisi caci maki yang tidak produktif.