#

Senin, 08 Agustus 2016

Setengah Berdiri

Sekitar pertengahan tahun 2011, saya mendampingi murid-murid saya mengikuti pelatihan kepemimpinan di salah satu gedung di Yogyakarta. Ketika acara sudah dimulai, ada beberapa peserta yang datang terlambat.  Mereka tergopoh-gopoh memasuki ruang kelas sambil mencari kursi kosong di bagian tengah. Karena dirasa mengganggu suasana, instruktur acara menegur mereka dan memberi mereka hukuman yang menurut saya unik. Mereka diminta berbaris di bagian belakang kelas dalam posisi setengah berdiri.
Unik, karena hukuman itu tidak biasa dilakukan. Dan ternyata, posisi setengah berdiri memang sulit dilakukan. Dalam beberapa hitungan saja, beberapa peserta yang dihukum terjatuh karena  kehilangan keseimbangan. Sebagian lagi tampak meluruskan badannya karena merasa pegal terlalu lama dalam posisi setengah berdiri. Ternyata, posisi setengah berdiri jauh lebih melelahkan ketimbang benar-benar berdiri. Kita bisa mengikuti upacara bendera dengan berdiri selama satu jam penuh, tapi bisakah kita membayangkan berapa lama kita mampu bertahan jika diminta berada dalam posisi setengah berdiri?
Bukan hanya setengah berdiri saja yang melelahkan. Semua hal, jika dilakukan setengah-setengah, ternyata jauh lebih menguras energi dibanding jika kita mengerjakannya dengan sepenuh hati. Seperti, ketika mengerjakan tugas kuliah. Jika kita mengerjakannya dengan bermalas-malas dan perasaan terpaksa, selain hasilnya tidak maksimal, tingkat kelelahan fisik dan emosi kita juga lebih tinggi. Toh, dikerjakan dengan terpaksa ataupun sepenuh hati,  tugas kuliah tetap harus dikumpulkan.
Pernah ada seorang mahasiswa yang bercerita kepada saya. Suatu hari, dia mendapat tugas membuat makalah dari dosennya. Kendati dia sangat paham bahwa dosennya sangat keras dan tidak akan segan-segan mencoret nama mahasiswa yang ketahuan melakukan plagiasi, dia tetap saja melakukan plagiasi. Supaya tidak ketahuan, dia meng-copy paste tulisan dari berbagai makalah sejenis, lalu dia susun ulang menjadi sebuah makalah yang seolah-olah orisinil. Mahasiswa itu mengatakan kepada saya, ternyata proses menyusun makalah dengan cara plagiasi seperti itu tidak sederhana. Dia harus menyesuaikan jenis dan ukuran font, margin, sampai dengan menyisipkan kata penghubung antar kalimat dan paragraf. Hasilnya, waktu yang dibutuhkan ternyata sangat lama dan ribet. Waktu yang dia gunakan untuk melakukan plagiasi itu sebenarnya sangat cukup untuk menulis makalah secara orisinil, dengan hasil yang jauh lebih baik.
“Kerjakan dengan maksimal, atau tidak usah dikerjakan sama sekali”. Kurang lebih, itulah kesimpulan dari bab ini, jika harus dirangkum dalam satu kalimat. Agama mengajarkan kita untuk melakukan segala sesuatu dengan ikhlas, yaitu dengan hati yang lapang, yang jauh dari sikap menggerutu. Kita harus tegas kepada diri kita sendiri. Jika kita ragu-ragu untuk melakukan sesuatu, ada baiknya kita berpikir ulang sebelum mengambil keputusan untuk tetap mekakukannya atau tidak. Jika kita memutuskan untuk melakukannya, maka kita harus melakukannya dengan sepenuh hati. Jangan setengah-setengah. Karena, dunia hanya akan mengakui dua hal; pemenang, atau pecundang. ***

Kafe Obamb, 8 Agustus 2016, 20:29 WIB