Sekitar pertengahan
tahun 2011, saya mendampingi murid-murid saya mengikuti pelatihan kepemimpinan
di salah satu gedung di Yogyakarta. Ketika acara sudah dimulai, ada beberapa
peserta yang datang terlambat. Mereka tergopoh-gopoh
memasuki ruang kelas sambil mencari kursi kosong di bagian tengah. Karena
dirasa mengganggu suasana, instruktur acara menegur mereka dan memberi mereka
hukuman yang menurut saya unik. Mereka diminta berbaris di bagian belakang
kelas dalam posisi setengah berdiri.
Unik, karena hukuman
itu tidak biasa dilakukan. Dan ternyata, posisi setengah berdiri memang sulit
dilakukan. Dalam beberapa hitungan saja, beberapa peserta yang dihukum terjatuh
karena kehilangan keseimbangan. Sebagian
lagi tampak meluruskan badannya karena merasa pegal terlalu lama dalam posisi
setengah berdiri. Ternyata, posisi setengah berdiri jauh lebih melelahkan
ketimbang benar-benar berdiri. Kita bisa mengikuti upacara bendera dengan
berdiri selama satu jam penuh, tapi bisakah kita membayangkan berapa lama kita mampu
bertahan jika diminta berada dalam posisi setengah berdiri?
Bukan hanya setengah
berdiri saja yang melelahkan. Semua hal, jika dilakukan setengah-setengah,
ternyata jauh lebih menguras energi dibanding jika kita mengerjakannya dengan
sepenuh hati. Seperti, ketika mengerjakan tugas kuliah. Jika kita
mengerjakannya dengan bermalas-malas dan perasaan terpaksa, selain hasilnya
tidak maksimal, tingkat kelelahan fisik dan emosi kita juga lebih tinggi. Toh,
dikerjakan dengan terpaksa ataupun sepenuh hati, tugas kuliah tetap harus dikumpulkan.
Pernah ada seorang
mahasiswa yang bercerita kepada saya. Suatu hari, dia mendapat tugas membuat
makalah dari dosennya. Kendati dia sangat paham bahwa dosennya sangat keras dan
tidak akan segan-segan mencoret nama mahasiswa yang ketahuan melakukan
plagiasi, dia tetap saja melakukan plagiasi. Supaya tidak ketahuan, dia meng-copy
paste tulisan dari berbagai makalah sejenis, lalu dia susun ulang menjadi
sebuah makalah yang seolah-olah orisinil. Mahasiswa itu mengatakan kepada saya,
ternyata proses menyusun makalah dengan cara plagiasi seperti itu tidak
sederhana. Dia harus menyesuaikan jenis dan ukuran font, margin, sampai dengan
menyisipkan kata penghubung antar kalimat dan paragraf. Hasilnya, waktu yang
dibutuhkan ternyata sangat lama dan ribet. Waktu yang dia gunakan untuk melakukan
plagiasi itu sebenarnya sangat cukup untuk menulis makalah secara orisinil,
dengan hasil yang jauh lebih baik.
“Kerjakan dengan
maksimal, atau tidak usah dikerjakan sama sekali”. Kurang lebih, itulah
kesimpulan dari bab ini, jika harus dirangkum dalam satu kalimat. Agama
mengajarkan kita untuk melakukan segala sesuatu dengan ikhlas, yaitu dengan hati
yang lapang, yang jauh dari sikap menggerutu. Kita harus tegas kepada diri kita
sendiri. Jika kita ragu-ragu untuk melakukan sesuatu, ada baiknya kita berpikir
ulang sebelum mengambil keputusan untuk tetap mekakukannya atau tidak. Jika
kita memutuskan untuk melakukannya, maka kita harus melakukannya dengan sepenuh
hati. Jangan setengah-setengah. Karena, dunia hanya akan mengakui dua hal;
pemenang, atau pecundang. ***
Kafe Obamb, 8 Agustus 2016, 20:29 WIB