Oleh: Fahri Hidayat
Tahun 1453. Ribuan bendera perang tentara Turki sudah berkibar mengelilingi kota konstantinopel. Serangan demi serangan telah dilancarkan, moncong-moncong meriam tentara Turki setiap hari memuntahkan lahar panasnya menghantam tembok-tembok konstantinopel, satu demi satu pasukan berkuda Turki mencoba menembus garis pertahanan lawan, namun hujan panah dan timah panas dari atas dinding benteng selalu menyambut mereka. Benteng konstantinopel masih saja kokoh berdiri, seakan menampakkan keangkuhannya kepada tentara Turki yang sudah hampir kehabisan amunisi.
Hari demi hari silih berganti. Namun belum tampak tanda-tanda keruntuhan benteng bersejarah itu. Tentara Turki sudah mulai berputus asa. Semangat mereka yang awalnya bergelora bagai dahsyatnya meriam-meriam Turki itu kini mulai meredup. Perjuangan panjang yang melelahkan belum membuahkan hasil.
Para komandan Turki sudah mulai bergoyah. Bahkan salah seorang menteri mengusulkan kepada Sultan Muhammad II untuk menghentikan serangan dan menerima perjanjian dengan pihak Bizantium. Mental pasukan Turki sudah benar-benar jatuh.
Sultan Muhammad II tetap tidak bergeming. Sorot matanya yang tajam menampakkan sebuah harapan. Ia segera bangkit dan membakar kembali semangat tentaranya. Karena masih ada harapan yang tersisa, yaitu penyerangan dari jalur laut.
Kota konstantinopel dikelilingi oleh lautan dari 3 sisi sekaligus, yaitu selat Borphorus, laut Marmara, dan Tanduk emas. Pertahanan di wilayah Tanduk emas inilah yang merupakan titik lemah pasukan Romawi. Namun satu-satunya akses untuk menembusnya sudah di jaga oleh rantai yang sangat besar dan memanjang. Sehingga tidak mungkin kapal perang Turki bisa melewatinya. Ini adalah masalah besar.
Ditengah situasi yang genting itu, Sultan Muhammad II dengan kecerdasannya menginstruksikan sebuah starategi yang tak terduga, yaitu membawa kapal-kapal perang Turki melewati gunung yang melindungi kota. Perahu berjalan ditas gunung! Malam itu ratusan tentara Turki menarik perahu-perahu melewati gunung. Mereka seakan-akan menjadikan bumi sebagai lautan dan menyeberangkan kapal-kapal perangnya di puncak gunung sebagai ganti gelombang lautan. Pagi harinya, ketika mentari mulai memancarkan sinarnya, pasukan Romawi terbelalak tak percaya melihat kapal-kapal perang Turki sudah berada di dalam tanduk emas. Serangan umumpun dilancarkan.
Sultan Muhammad II telah membuktikan kekuatan sebuah optimisme. Optimisme adalah selalu mencari peluang di setiap keterdesakan. Optimisme akan melahirkan ide-ide kreatif. Lihatlah bagaimana ide kreatif Sultan Muhammad muncul ditengah-tengah situasi yang sangat genting. Ide cemerlang itu tak mungkin muncul tanpa adanya optimisme. Membawa perahu perang menyeberangi gunung adalah sebuah strategi yang tidak pernah ada sebelumnya. Yilmaz Oztuna seorang sejarawan bahkan memujinya dengan penuh kekaguman "kami tidak pernah melihat dan mendengar sebelumnya, sesuatu yang sangat luar biasa seperti ini. Muhammad Al-Fatih telah mengubah bumi menjadi lautan dan dia menyeberangkan kapal-kapalnya di puncak-puncak gunung sebagai pengganti gelombang-gelombang lautan. Sungguh kehebatannya jauh melebihi apa yang dilakukan oleh Alexander yang Agung"
Para tokoh besar selalu memiliki sikap kebertahanan pada setiap situasi. Ia tak akan terbawa dengan bisikan-bisikan yang melemahkan, ataupun celaan-celaan yang menggoyahkan. Andai Sultan saat itu mendengarkan bisikan menterinya untuk menghentikan serangan, maka perjuangan panjang yang memakan biaya yang sangat besar itupun akan berakhir sia-sia.
Optimisme adalah kunci keberhasilan. Lihatlah gerakan Ikhwanul Muslimin yang di dirikan oleh Hasan Albanna di Mesir. Pada saat gerakan ini masih terbilang sangat kecil secara kuantitas, Hasan Albanna justru mengatakan bahwa visi gerakan ini adalah untuk menjadi guru bagi peradaban dunia (ustadziyatul alam). Ini adalah sebuah optimisme yang luar biasa. Dan hari ini optimisme itu membuahkan hasil yang nyata. Ikhwanul Muslimin menjadi gerakan Islam terbesar dan paling berpengaruh di dunia. Mungkin Hasan Albanna telah lama meninggal, namun optimisme yang dibangunnya semenjak gerakan ini didirikan masih tetap hidup dan menyala di hati generasi penerusnya.
Optimisme ibarat matahari yang tak pernah lelah memancarkan sinarnya. Mungkin adakalanya sinar itu tertutup oleh mendung, namun ia akan selalu menembus setiap celah yang ada. Sekecil apapun celah itu. Dan matahari itu ada dalam diri kita. Nyalakanlah sinarnya! (sumber: http://fahrihidayat.blogspot.com)
Minggu, 10 Oktober 2010
OPTIMISME DALAM PERJUANGAN
06.52.00
Fahri Hidayat