Pendidikan Agama Islam (PAI) merupakan salah satu mata pelajaran yang masuk kedalam kurikulum Nasional. Oleh karenanya, mata pelajaran PAI selalu ada dalam kurikulum sekolah, baik sekolah negeri atau swasta. Hanya saja, sekolah-sekolah Islam biasanya menambahkan alokasi waktu untuk mata pelajaran PAI dengan porsi yang lebih banyak dibandingkan dengan yang diterapkan pada sekolah umum. Harapannya, dengan penambahan jam perminggunya, PAI mampu mendorong siswa untuk menumbuhkan karakter dan kepribadian yang luhur.
Hanya saja, dalam perkembangannya ternyata penambahan jam untuk mata pelajaran PAI belum menemukan peran yang optimal. Buktinya, degradasi moral seperti tawuran antar pelajar dan seks bebas masih merajalela di Negeri ini. Ironisnya, banyak dari pelajar sekolah Islam justru menjadi bagian dari degradasi moral tersebut. Ini menjadi bukti, bahwa penanaman akhlak mulia untuk para siswa dengan menambahkan mata pelajaran PAI masih belum optimal. Bahkan, banyak sekolah Islam yang justru terbelakang, bukan hanya dari sisi intelektual dan akademisnya saja, melainkan juga dari sisi moral dan kepribadian.
Selama ini PAI dianggap sebagai mata pelajaran yang berkaitan dengan hati saja. Bahkan pada saat Kementerian Agama Republik Indonesia menggulirkan gagasan untuk menjadikan PAI sebagai salah satu mata pelajaran yang diikutkan dalam Ujian Nasional (UN), Banyak pihak yang tidak sependapat karena mengganggap domain PAI adalah hati, bukan akal. Sedangkan mata pelajaran lain yang ikut UN seperti Matematika, IPA, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia berkaitan dengan akal, bukan hati. Dengan argumentasi itu, maka memasukkan PAI kedalam UN dianggap tidak relevan.
Sebenarnya, semua mata pelajaran, termasuk PAI, pasti mencangkup wilayah kognitif, afektif, dan psikomotor. Obyek kajian yang masuk dalam kurikulum PAI di sekolah umum meliputi Qur`an, Hadist, Fiqih, Akhlak, dan Tarikh. Dalam menghafalkan ayat atau hadist tertentu, atau memahami teori fiqih dalam madzhab tertentu, siswa dituntut untuk menggunakan akalnya. Karena tanpa mengetahui landasan teorinya, sulit untuk mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, aspek kognitif atau daya akal dalam mata pelajaran PAI tetap harus diperhatikan.
Selain itu, optimalisasi PAI dalam membangun kepribadian siswa tidak cukup hanya dengan penambahan jam saja. Namun perlu diadakakan pembiasaan terkait dengan pengamalan PAI dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat dilaksanakan misalnya dengan mewajibkan siswa untuk mengisi absen kehadiran pada saat shalat wajib di sekolah, melarang untuk bergaul secara berlebihan dengan lawan jenis, atau penugasan untuk mengisi khutbah jum`at di sekolah untuk siswa putra. Selain itu guru PAI harus selalu berkoordinasi dengan orang tua murid terkait dengan controling dan monitoring pengamalan PAI di rumahnya masing-masing.
Untuk memicu semangat para siswa dalam PAI, pihak sekolah dapat mengadakan semacam olimpiade PAI secara rutin berkala. Biasanya Olimpiade PAI terdiri dari beberapa cabang lomba seperti: Ceramah, Khutbah Jum`at, Adzan, Kaligrafi, Seni Membaca Qur`an, Hafalan Hadist, Majalah Dinding Islami, dan lain sebagainya.
*) Fahri Hidayat, Guru dan Wakaur Kurikulum Bidang Agama SMP- SMA Muhammadiyah Boarding School (MBS) Yogyakarta
*) Tulisan ini dimuat di koran Kedaulatan Rakyat.