“Harta
dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia. Dan perbuatan-perbuatan baik yang
kekal lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu dan lebih baik untuk dijadikan
harapan” (QS. Al Kahfi – 46)
Setiap
orang tua pasti mendambakan masa depan yang baik untuk anaknya. Karena alasan
inilah, banyak orang tua yang rela mengeluarkan biaya besar demi pendidikan
terbaik anaknya. Tak jarang, sekolah di luar negeri yang mahal pun akan
diperjuangkan, meski harus menanggung resiko hidup berjauhan selama beberapa
tahun. Bagi orang tua, intinya hanya satu, ada jaminan kebahagiaan untuk masa
depan anaknya.
Sebenarnya,
tidak ada yang salah dengan harapan orang tua itu. Semua harapan orang tua
pasti mulia. Setiap orang tua pasti memiliki naluri yang sama untuk
membahagiakan anaknya. Namun, di sini, kita perlu merenung kembali untuk
mempertegas apa yang sebenarnya dimaksud dengan masa depan. Kata “masa depan” memang seringkali memiliki
variasi makna. Batasannya pun tidak baku. Bagi pelajar yang duduk di bangku sekolah,
belajar untuk masa depan berarti mempersiapkan diri untuk masuk ke perguruan
tinggi favorit. Sedangkan, bagi seorang mahasiswa, berbicara tentang masa
depannya adalah berbicara tentang kehidupan ketika Ia mulai menikah dan
membangun rumah tangga. Lain lagi dengan orang yang sudah berumah tangga, masa
depan adalah impian tentang hari tua yang indah.
Jika
demikian, dimensi masa depan menjadi sangat relatif. Menyandang status sebagai
mahasiswa di perguruan tinggi favorit adalah masa depan bagi seorang pelajar,
namun sebatas masa kini bagi yang sedang berstatus mahasiswa, dan hanya dianggap
masa lalu oleh orang yang sudah berumah tangga. Lalu, apa sesungguhnya batas akhir
masa depan itu?
Menurut
pendapat penulis, masa depan adalah batas akhir dari semua harapan, impian, dan
perjalanan hidup manusia, dimana sudah tidak ada lagi masa setelah masa itu.
Masa depan adalah masa yang paling depan. Jika masih ada harapan yang tersisa
di satu titik waktu tertentu, maka itu bukanlah masa depan, melainkan hanya
sebatas sepotong episode perjalanan yang belum selesai.
Jika
saat ini status kita sebagai mahasiswa, dan kita rela bekerja keras menguras
keringat hingga meninggalkan kesenangan hidup dengan harapan agar mendapat
kesenangan yang lebih besar di masa depan kita, sedangkan kita hanya membatasi
masa depan sebagai masa ketika kita membangun keluarga nanti, maka sesungguhnya
kebahagiaan yang akan kita dapat, kalaupun kita berhasil meraihnya, hanya
berdurasi singkat, karena tidak lama setelah itu kita akan segera merumuskan
ulang masa depan kita baru, yaitu masa tua yang bahagia. Begitu seterusnya.
Jika
kita membuka kitab suci, kita tidak akan bingung untuk mendefinisikan masa
depan. Makna hakiki dari masa depan adalah kehidupan di akhirat, alam keabadian
tempat surga dan neraka berada. Di sana, kita akan mendapatkan fasilitas sesuai
dengan apa yang kita upayakan selama hidup di alam dunia.
Di
awal tulisan ini, penulis mengutip terjemahan QS Al Kahfi ayat 46 yang
mengatakan bahwa harta dan anak-anak hanyalah perhiasan dunia. Kata “perhiasan”
sebagaimana yang dipahami banyak orang adalah sesuatu yang dijadikan pelengkap.
Seperti, ketika kita mengenakan arloji, atau seorang wanita yang mengenakan
cincin di jari manisnya. Arloji dan cincin hanyalah perhiasan yang melengkapi penampilan
diri kita. “Perhiasan”, artinya bukan sesuatu yang paling utama. Tanpa
mengenakan cincin dan arloji pun kita tidak akan mengalami masalah apapun karena
kedua benda tersebut hanya pelengkap.
Demikian
juga harta dan anak-anak. Pada hakikatnya, memiliki harta yang berlimpah, atau
anak-anak yang sukses duniawi, hanya sebatas hiasan saja. Bukan berarti tidak
boleh dicari. Boleh-boleh saja kita mencari dan mengupayakannya. Tapi, jangan
sampai itu semua dijadikan sebagai tujuan utama dalam hidup kita. Karena,
sekali lagi, semua itu hanya hiasan saja. Sedangkan, yang akan bermanfaat bagi
masa depan kita di akhirat nanti adalah “kebaikan-kebaikan yang kekal”, yaitu
kontribusi kita yang bermanfaat bagi kemanusiaan yang kita lakukan dengan tulus
ikhlas, hanya mengharap ridha dan balasan dari-Nya.
Karena,
usia kita di dunia ini ada batasnya. Kita hanya hidup pada durasi tertentu. Dan
setelah itu, kita akan hidup di masa depan yang sebenarnya. Masa depan yang
tidak ada lagi masa setelah itu. Masa paling akhir dalam perjalanan hidup
manusia. Masa dimana kita akan menuai apa yang telah kita upayakan selama hidup
dalam durasi singkat kehidupan ini. Dan setelah meninggalkan dunia, hanya akan
tiga hal saja yang tetap mengalir menjadi tambahan pahala bagi kita, yaitu
sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakan
kebahagiaan untuk kita. Maka, jika kita
berjuang untuk masa depan, berjuanglah untuk masa depan yang hakiki, yaitu alam
keabadian yang baik di sisi-Nya. ***
Kafe Obamb, 25 Juli
2016 – 22.16 WIB