#

Minggu, 24 Juli 2016

Menghindari Debat Kusir

Suatu pagi, terjadi obrolan kecil antara saya dengan salah seorang teman sekantor di kantin kampus. Dalam perbincangan tersebut, teman saya sempat berseloroh bahwa di zaman ini untuk melanjutkan studi S3 tidak perlu terlalu pintar, cukup dengan modal uang saja bisa. Kalimat  yang awalnya diucapkan teman saya dengan berseloroh  itu mendadak menjadi obrolan serius lantaran saya merasa tertohok dengan kalimat tersebut. Bukan hanya karena saya tidak setuju dengan pendapatnya, namun juga karena status saya sebagai mahasiswa S3.
Jelas, pendapat tersebut tidak benar. Banyak orang kaya yang sebenarnya mampu melanjutkan studi S3, namun tidak melakukannya karena berbagai alasan. Uang, meskipun memang penting, namun bukan satu-satunya alasan mengapa orang memutuskan untuk melanjutkan atau tidak melanjutkan studinya. Saya sempat menyampaikan bantahan kepada teman saya. Namun, dia justru semakin bersemangat mempertahankan pendapatnya.
Setelah itu, saya memutuskan untuk diam. Saya tidak menyambung bantahan saya karena satu alasan; saya sedikit terbawa emosi karena merasa bahwa pernyataan teman saya tersebut menyerang langsung “benteng harga diri” saya. Dalam kondisi yang emosional, kita cenderung tidak akan obyektif dalam berpendapat. Kalimat yang kita ucapkan dalam kondisi emosional lebih banyak berujung penyesalan. Maka, dalam kondisi seperti itu, diam adalah cara menjawab yang baik.
Seringkali, perdebatan sengit terjadi bukan karena kita sedang mempertahankan sebuah argumen, melainkan karena kita mempertahankan ego kita sendiri. Perdebatan yang awalnya tampak seolah-olah ilmiah pun seringkali mendadak berubah menjadi perang ego. Perdebatan seperti itu tidak mungkin produktif. Bahkan, kalaupun kita bisa membungkam lawan bicara kita sampai dia tidak bisa berkata-kata lagi, yang terjadi setelah itu adalah hubungan pertemanan yang renggang. Jika kita menang dalam berdebat, namun “kemenangan” kita menyisakan luka di hati teman kita, maka pada hakikatnya kita telah kalah melawan diri kita sendiri.
Perdebatan yang baik adalah pada saat kita beradu tentang argumen, bukan tentang harga diri. Karena, pada dasarnya, debat adalah kerja akal, bukan kerja emosi. Oleh karenanya, yang kita pakai dalam debat adalah intelektualitas kita, bukan emosional kita. Perdebatan yang positif adalah pada saat kita berbicara tentang konsep, gagasan, ide, dan wawasan. Kalaupun kita menyerang lawan bicara kita, yang kita serang adalah gagasannya, bukan harga dirinya.
Sebaiknya, kita menghindari debat kusir yang tidak produktif, yaitu perdebatan yang menggunakan emosi. Karena, di sini, kita akan berjuang untuk membela harga diri kita dan pada saat yang sama berusaha menjatuhkan lawan bicara. Kita tidak mau kalah debat lantaran merasa malu, dan oleh karenanya, kita pun berupaya membuat lawan bicara kita merasa malu. Akhirnya berlaku hukum rimba: kita jatuhkan lawan, atau kita yang terjatuh. Perdebatan jenis ini pada hakikatnya adalah pertengkaran terselubung yang tidak akan menghasilkan pemenang, melainkan menghasilkan dua orang yang sama-sama pecundang lantaran berusaha saling menyakiti. ***

Kafe Obamb, 24 Juli 2016