Suatu
pagi, terjadi obrolan kecil antara saya dengan salah seorang teman sekantor di
kantin kampus. Dalam perbincangan tersebut, teman saya sempat berseloroh bahwa
di zaman ini untuk melanjutkan studi S3 tidak perlu terlalu pintar, cukup
dengan modal uang saja bisa. Kalimat yang awalnya diucapkan teman saya dengan
berseloroh itu mendadak menjadi obrolan
serius lantaran saya merasa tertohok dengan kalimat tersebut. Bukan hanya
karena saya tidak setuju dengan pendapatnya, namun juga karena status saya
sebagai mahasiswa S3.
Jelas,
pendapat tersebut tidak benar. Banyak orang kaya yang sebenarnya mampu
melanjutkan studi S3, namun tidak melakukannya karena berbagai alasan. Uang,
meskipun memang penting, namun bukan satu-satunya alasan mengapa orang
memutuskan untuk melanjutkan atau tidak melanjutkan studinya. Saya sempat
menyampaikan bantahan kepada teman saya. Namun, dia justru semakin bersemangat
mempertahankan pendapatnya.
Setelah
itu, saya memutuskan untuk diam. Saya tidak menyambung bantahan saya karena
satu alasan; saya sedikit terbawa emosi karena merasa bahwa pernyataan teman
saya tersebut menyerang langsung “benteng harga diri” saya. Dalam kondisi yang
emosional, kita cenderung tidak akan obyektif dalam berpendapat. Kalimat yang
kita ucapkan dalam kondisi emosional lebih banyak berujung penyesalan. Maka,
dalam kondisi seperti itu, diam adalah cara menjawab yang baik.
Seringkali,
perdebatan sengit terjadi bukan karena kita sedang mempertahankan sebuah argumen,
melainkan karena kita mempertahankan ego kita sendiri. Perdebatan yang awalnya
tampak seolah-olah ilmiah pun seringkali mendadak berubah menjadi perang ego. Perdebatan
seperti itu tidak mungkin produktif. Bahkan, kalaupun kita bisa membungkam
lawan bicara kita sampai dia tidak bisa berkata-kata lagi, yang terjadi setelah
itu adalah hubungan pertemanan yang renggang. Jika kita menang dalam berdebat,
namun “kemenangan” kita menyisakan luka di hati teman kita, maka pada
hakikatnya kita telah kalah melawan diri kita sendiri.
Perdebatan
yang baik adalah pada saat kita beradu tentang argumen, bukan tentang harga
diri. Karena, pada dasarnya, debat adalah kerja akal, bukan kerja emosi. Oleh
karenanya, yang kita pakai dalam debat adalah intelektualitas kita, bukan
emosional kita. Perdebatan yang positif adalah pada saat kita berbicara tentang
konsep, gagasan, ide, dan wawasan. Kalaupun kita menyerang lawan bicara kita,
yang kita serang adalah gagasannya, bukan harga dirinya.
Sebaiknya,
kita menghindari debat kusir yang tidak produktif, yaitu perdebatan yang
menggunakan emosi. Karena, di sini, kita akan berjuang untuk membela harga diri
kita dan pada saat yang sama berusaha menjatuhkan lawan bicara. Kita tidak mau
kalah debat lantaran merasa malu, dan oleh karenanya, kita pun berupaya membuat
lawan bicara kita merasa malu. Akhirnya berlaku hukum rimba: kita jatuhkan
lawan, atau kita yang terjatuh. Perdebatan jenis ini pada hakikatnya adalah
pertengkaran terselubung yang tidak akan menghasilkan pemenang, melainkan
menghasilkan dua orang yang sama-sama pecundang lantaran berusaha saling
menyakiti. ***
Kafe Obamb, 24
Juli 2016