Saya masih ingat, saat
pertamakali menyandang status sebagai mahasiswa pada pertengahan 2007 silam.
Saat itu, saya merasa memasuki dunia yang benar-benar baru: lingkungan baru,
teman-teman baru, dan – tentunya – atmosfer keilmuan yang baru juga. Singkat
kata, saya seperti memasuki wilayah baru yang belum pernah saya lihat
sebelumnya. Apalagi, saya mengenyam pendidikan SMP dan SMA di pesantren yang
memang sangat membatasi ruang gerak saya untuk lebih banyak melihat “dunia
luar”.
Saat pertama kali
mengikuti acara diskusi bersama teman-teman seangkatan dan beberapa kakak kelas
di kampus, saya merasa seperti seorang bocah yang tidak paham apa-apa. Saya
melihat kakak-kakak angkatan saya begitu memukau dalam menyampaikan
gagasan-gagasannya dalam berdiskusi. Seolah-olah mereka mengerti banyak hal.
Aura wajah merekapun tampak sangat dewasa dan terkesan intelek.
Semua itu, pada
akhirnya mendorong saya untuk belajar agar bisa seperti mereka. Saya bertekad
keras untuk membuang sisa-sisa jiwa remaja saya. Saya ingin tampil dan dianggap
dewasa, jauh melampaui usia saya yang saat itu baru 18 tahun. Bahkan, saya
masih ingat, saya sangat marah ketika ada teman yang menganggap saya masih
kecil dan belum dewasa. Intinya, saya tidak senang dianggap masih bocah 18
tahun. Saya ingin dianggap dewasa selevel dengan mereka yang usianya pada
kisaran 25 tahun.
Itu penggalan cerita
masa lalu. Saat ini, usia saya sudah menginjak 26 tahun, berjalan menuju 27
tahun. Artinya, saya berada di usia yang saya idam-idamkan ketika usia 18
tahun. Apakah dengan begitu saya bahagia? Ya, saya sangat bersyukur dan bahagia
atas semua karunia yang Allah beri sampai saat ini. Akan tetapi, di usia ini,
dengan kesibukan saya dalam pekerjaaan dan setumpuk aktivitas saya sekarang,
saya justru merindukan masa-masa saat pertamakali menginjak bangku kuliah. Saya
rindu saat belajar di asrama bersama teman-teman, saat nongkrong bareng di
angkringan, saat menghabiskan malam dengan canda tawa, dan semua kenangan yang
mewarnai hari-hari itu.
Saat ini, karena
profesi saya sebagai dosen di perguruan tinggi, saya menjadi terbiasa dipanggil
“pak” meskipun usia saya belum sepantasnya menyandang panggilan itu. Panggilan “pak” pada awalnya memang terasa
biasa saja. Toh, itu hanya panggilan formal ketika di kampus. Di luar kampus,
saya tetap seorang anak muda, bukan bapak-bapak. Akan tetapi, panggilan itu
lama kelamaan – mungkin karena terlalu sering dipanggil “pak”- mengganggu
pikiran saya. Saya takut benar-benar dianggap sudah tua. Saya masih ingin tetap
muda. Bahkan, saya justru senang jika ada orang yang mengira saya masih
mahasiswa semester awal.
Akhirnya saya mencoba
untuk merenung. Dulu, saya gelisah karena dianggap masih remaja dan ingin
segera menjadi dewasa. Sekarang, saya justru khawatir jika menjadi “dewasa”
lebih cepat dari waktunya. Di dalam perenungan itu, akhirnya saya mendapat
pencerahan bahwa ternyata esensi bahagia adalah pada saat kita bisa menikmati
usia. Kita akan bahagia apabila kita mampu menjalani hari ini dengan fokus pada
hari ini, bukan malah ingin menghadirkan hari esok ke hari ini.
Kita tidak akan pernah
bahagia jika terus menerus memikirkan “apa yang akan kita lakukan” sehingga
justru tidak menikmati “apa yang sedang kita lakukan”. Kita harus benar-benar
menghadirkan jiwa dan raga kita untuk menikmati usia kita saat ini. Menikmati
dengan selalu bersukur kepada Allah atas karunia-Nya yang tidak pernah terputus,
dengan tidak membuang-buang waktu sia-sia, dengan terus menebar manfaat bagi
sesama, dan dengan melakukan hal-hal positif lainnya. Jangan sampai, raga kita ada di sini, namun
jiwa kita melayang-layang ke tempat lain.
Semua akan indah pada
waktunya. Menikmati pemandangan pantai akan terasa indah jika kita menikmatinya
di pagi atau senja hari ketika sang mentari terbit dan tenggelam. Tapi, jika
kita dipaksa untuk menikmati pantai pada tengah malam di saat kita seharusnya
tidur pulas dan dalam kondisi sangat mengantuk, maka memandang pantai tidak
lagi terasa indah, karena bukan pada waktunya. Hal paling indah di tengah malam
adalah tidur pulas, atau, menggelar sajadah untuk shalat malam dan mendekatkan
diri kepada Tuhan, bukan malah jalan-jalan di pantai. Sekali lagi, semua indah
jika pada waktunya. Maka, nikmatilah waktu dan usia kita hari ini dengan penuh
kesyukuran. Tidak perlu berangan-angan ingin segera ke masa depan, atau
tenggelam dalam penyesalan atau nostalgia masa lalu. ***